ARTIKEL

“PANDEMI DAN STRES PADA TENAGA KESEHATAN, WAJARKAH ?”

Publish By Rebecca Stephanie Cynthia, M.Psi, Psikolog
Posted On 17 JUNE 2022

“Aku diliputi perasaan takut dan cemas ketika harus kembali ke ruang isolasi. Aku tidak merasa terlindungi ketika berada di sana Alat Pelindung Diri (APD) kurang memadai saat merawat pasien positif Covid-19. Saat pulang ke rumah pun tenaga kesehatan tidak difasilitasi untuk melakukan rapid/swab sehingga membuat anggota keluarga di rumah menjadi saling mencurigai satu sama lain. Hampir setiap hari, kematian pasien menjadi sesuatu yang tak terhindarikan. Hal ini membuat aku stres”.

Narasi di atas merupakan sepenggal kisah seorang perawat yang bekerja di ruang isolasi ketika menangani pasien yang terkonfirmasi Covid-19. Pandemi Covid-19 mulai tersebar luas di Kota Surabaya sekitar bulan Maret 2020 dan menimbulkan ketakutan, kecemasan dan stres hampir di seluruh kalangan masyarakat. Salah satu diantaranya adalah para tenaga kesehatan yang bekerja di garda belakang.

Saat penulis menggali lebih jauh tentang pikiran dan perasaan tenaga kesehatan, khususnya perawat dalam menangani para pasien terkonfirmasi positif, ditemukan informasi bahwa perawat merasa tidak siap secara mental ketika akan dipindah tugaskan berjaga di ruang isolasi. Perawat mulai merasa khawatir jika anak, suami maupun anggota keluarga yang tinggal bersamanya akan tertular virus tersebut saat ia kembali ke rumah. Selain itu, ketika bertugas di ruang isolasi, ada kebijakan agar tenaga kesehatan untuk sementara waktu tidak diijinkan untuk pulang kerumah secara langsung saat selesai bertugas di ruang isolasi guna meminimalisirkan dampak penyebaran Covid-19 kepada anggota keluarga, sehingga harus tinggal di hotel yang telah disediakan, selama kurang lebih tujuh hingga empat belas hari. Perasaan rindu untuk bertemu dengan keluarga, merasa abai akan kewajiban sebagai seorang ibu terhadap anak dirumah, kurangnya waktu berkualitas dengan anak maupun pasangan semenjak bertugas di ruang isolasi, dan adanya stigma negatif yang dirasakan dari lingkungan sekitar, seperti “dia pembawa virus, jangan dekat-dekat dia nanti tertular Covid karena sering ngerawat pasien Covid”, dan sebagainya, membuat tenaga kesehatan memiliki beban yang berat, baik secara fisik maupun mental. Di satu sisi, tenaga kesehatan tidak berhak untuk menolak penempatan tugas tersebut, akibat dari kewajiban dan sumpah para tenaga kesehatan yang harus selalu siap sedia untuk melayani masyarakat, namun di lain pihak tenaga kesehatan seperti perawat ingin bertugas seperti perawat lain yang tidak ditempatkan di ruang isolasi (seperti instalasi rawat jalan) dan tidak bersinggungan secara langsung dengan pasien Covid-19.

ARTIKEL ILMIAH POPULER

“Pandemi dan Stres pada Tenaga Kesehatan, Wajarkah ?”

Di lain pihak, bagi para tenaga kesehatan yang bertugas di instalasi rawat jalan ternyata juga menemui tantangan tersendiri walaupun tidak harus berada di ruang isolasi. Mereka juga merasakan khawatir, takut dan resah kepada para pasien yang ternyata terkonfirmasi positif Covid-19 namun tidak memiliki gejala apapun ataupun para pasien yang tidak mau jujur saat dilakukan pemeriksaan awal jika ia sudah melakukan kontak erat dengan pasien Covid-19. Ketidakjujuran para pasien menjadi tantangan terberat bagi para tenaga kesehatan untuk melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Perasaan curiga yang semakin meningkat perlahan-lahan juga memicu munculnya konflik-konflik kecil hingga besar dengan rekan kerja saat bekerja memeriksa pasien.

Peperangan batin yang dirasakan bergejolak cukup besar di dalam diri para tenaga kesehatan dan membuatnya merasa stres bahkan hampir mengalami depresi saat menjalaninya. Lalu, muncul satu pertanyaan utama dari para tenaga kesehatan“apa yang dapat kami lakukan untuk mengurangi stres yang kami rasakan saat ini ?”

Karakteristik Stres

Sebelum kita mendalami cara mengurangi stres, sebelumnya kita perlu untuk mengenal lebih dahulu apa itu stres. Seseorang dapat dikatakan sedang mengalami stres ketika ia merasa tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Berikut ini adalah respon perilaku, fisik, emosi dan kognitif / pikiran yang merupakan tanda-tanda umum dari stres (Willy, T, 2019) :

1. Respon Kognitif / Pikiran

1. Merasa bingung

2. Sulit untuk berpikir jernih / sulit untuk konsentrasi

3. Sulit untuk mengambil / memutuskan sesuatu

2. Respon Emosi

1. Menjadi cemas / takut

2. Merasa depresi

3. Merasa bersalah

4. Merasa marah

5. Tidak peduli dengan apapun disekitarnya

6. Merasa terbebani oleh kesedihan

ARTIKEL ILMIAH POPULER

“Pandemi dan Stres pada Tenaga Kesehatan, Wajarkah ?”

3. Respon Perilaku

1. Adanya peningkatan atau penurunan energi yang drastis saat melakukan aktivitas

2. Sulit untuk rileks dan tidur dengan nyenyak

3. Frekuensi untuk menangis meningkat

4. Mudah gelisah dan takut tanpa sebab

5. Ingin menyendiri sepanjang waktu

6. Menyalahkan orang lain untuk berbagai hal yang terjadi

7. Memiliki kesulitan untuk berkomunikasi dan mendengarkan

8. Mengalami kesulitan untuk menerima atau memberi pertolongan

9. Rendahnya minat untuk merasakan kesenangan

4. Respon Fisik

1. Sakit perut / diare

2. Sakit kepala atau pada bagian tubuh yang lain terasa sakit

3. Kehilangan selera /minat untuk makan

4. Berkeringat dingin

5. Munculnya tremor atau otot ang berkedut

6. Mudah terkejut

Tenaga kesehatan cenderung menghadapi tuntutan pekerjaan yang menekan baik dari segi waktu, tenaga, kesehatan hingga psikis selama pandemi Covid-19, sehingga membuat para tenaga kesehatan mengalami respon stres yang beragam, mulai dari respon kognitif, emosi, fisik hingga perilaku. Ketika respon negatif yang dirasakan tidak mampu ditangani dengan baik oleh para tenaga kesehatan, maka akan menyebabkan pengelolaan stres yang buruk dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.

Stres Akibat Pandemi Covid-19 pada Tenaga Kesehatan

Stres yang dirasakan oleh tenaga kesehatan akibat dari pandemi ini pun cukup bervariasi, baik dari segi ekonomi, kesehatan, sosial dan aspek-aspek lainnya. Selain itu, juga mampu mengembangkan gejala psikiatri baru maupun memperburuk penyakit yang sudah dideritanya. Bagi seseorang yang telah terinfeksi, perasaan yang muncul berupa takut untuk sekarat, khawatir/cemas berlebihan, merasa tidak berdaya maupun cenderung menyalahkan orang lain yang sudah terpapar terlebih duhulu (Hall et all, 2008).

ARTIKEL ILMIAH POPULER

“Pandemi dan Stres pada Tenaga Kesehatan, Wajarkah ?”

Melalu proses konseling yang dilakukan pada 7 tenaga kesehatan di rumah Sakit X, didapatkan dat abahwa stress psikologis yang dirasakan para tenaga kesehatan disebabkan oleh tujuh faktor dibawah ini, diantaranya yaitu :

1) Lingkungan bekerja yang ekstrim

Ruang isolasi menjadi sebuah momok bagi para tenaga kesehatan pada pandemi ini. Hal ini dikarenakan tenaga kesehatan di ruang isolasi akan lebih rentan untuk tertular virus dibandingkan penempatan kerja yang lainnya, khususnya ketika ruangan isolasi tidak difasilitasi dengan cukup baik. Selain itu, tingkat kematian juga rentan lebih tinggi saat berjaga diruang isolasi, akibat kelelahan saat bekerja / kurang menjaga protokol kesehatan setelah dari ruang isolasi.

2) Rendahnya disiplin diri menjalankan protokol kesehatan

Saat pandemi Covid-19 belum mulai berkembang dengan pesat, kedisiplinan untuk menjaga protokol kesehatan belum sepenuhnya dilakukan, baik itu bagi para tenaga kesehatan maupun bagi pasien yang berkunjung untuk melakukan pelayanan atau sekedar menjenguk pasien. Rendahnya pemenuhan protokol kesehatan, seperti mencuci tangan setelah melakukan aktivitas tertentu, selalu memakai masker dan menjaga jarak minimal 2 meter membuat perkembangan Covid-19 menjadi tidak dapat dikontrol. Hingga saat ini pemberian arahan untuk mengikuti seluruh protokol kesehatan secara berulang baik kepada tenaga kesehatan maupun kepada pasien tetap selalu dilakukan.

3) Keterbatasan APD (Alat Pelindung Diri)

Akibat jumlah pasien yang terus mengalami peningkatan, di mana di Jawa Timur mengalami kenaikan jumlah pasien sekitar 2% dari hari sebelumnya (Jatim Tanggap Covid-19, 2020) mengakibatkan keterbatasan APD (Alat Pelindung Diri) bagi para tenaga kesehatan yang bertugas. Selain itu, kurang terstandartnya APD yang disediakan oleh Rumah Sakit dan tidak terfasilitasi dilakukannya rapid test/swab secara berkala bagi para tenaga kesehatan, khususnya ketika mereka selesai bertugas di ruang isolasi.

4) Meningkatnya tuntutan pekerjaan

Seiring meningkatnya jumlah pasien yang terkonfirmasi Covid-19, maka tuntutan pekerjaan bagi para tenaga kesehatan juga meningkat, terkait dengan penambahan jam shift bekerja ketika terjadi keterbatasan petugas / ketika teman seperjuangan terinfeksi virus Covid-19, kewajiban untuk menggunakan APD lengkap, walaupun dengan konsekuensi lebih mengeluarkan tenaga lebih untuk beraktivitas saat melakukan

ARTIKEL ILMIAH POPULER

“Pandemi dan Stres pada Tenaga Kesehatan, Wajarkah ?”

pelayanan, membutuhkan waktu lebih lama untuk bersiap-siap maupun setelah selesai melakukan pelayanan padahal mereka dituntut untuk cepat dan tanggap, mengalami kegerahan / kepanasan hingga merasa sesak napas saat melakukan banyak aktivitas dengan menggunakan APD (Alat Pelindung Diri).

5) Kualitas hubungan sosial yang rendah

Pandemi ini secara tidak langsung membatasi hubungan sosial dengan orang lain, khususnya saat bertatap muka. Saat di lingkungan kerja, mereka mulai membatasi percakapan secara terjadi langsung dan mulai saling menaruh rasa curiga antara satu dengan yang lain akibat takut tertular virus Covid-19. Begitu juga kualitas hubungan positif dirumah juga menurun akibat dari jam kerja yang meningkat, larangan untuk pulang kerumah karena harus diisolasi mandiri terlebih dahulu saat selesai bekerja dari ruang isolasi.

6) Ketidakjujuran Pasien

Ketidakjujuran yang dilakukan oleh pasien maupun tenaga kesehatan untuk mengatakan yang sebenarnya terjadi akibat dari perasaan takut jika terjangkit Covid-19. Tidak dapat dipungkiri jika pasien / tenaga kesehatan terinfeksi Covid-19, maka kegelisahan dan ketakutan akan menghinggapi kehidupan mereka dan merasa bahwa ini adalah akhir dari segalanya. Berkaitan dengan hal tersebut, pasien / tenaga kesehatan berpikir bahwa lebih baik untuk mereka tidak mengatakan kebenaran dibandingkan akan menerima dampak yang kurang menyenangkan, seperti akan diisolasi, tidak menerima pelayanan, dsb. Padahal kenyataannya tidak seburuk yang mereka bayangkan.

7) Stigma negatif dari masyarakat

Pada awal pandemi Covid-19, stigma negatif dari masyarakat cukup tinggi kepada para tenaga kesehatan. Hal ini dikarenakan masyarakat takut untuk tertular Covid-19 saat bersinggungan secara langsung dengan tenaga kesehatan sebab tenaga kesehatan melakukan kontak erat dengan para pasien. Tenaga kesehatan sempat untuk dijauhi, dibicarakan dari belakang, dsb oleh tetangga-tetangga disekitarnya. Untuk itu, hal ini menjadi suatu tekanan tersendiri bagi para tenaga kesehatan saat kembali ke lingkungan tempat ia tinggal.

ARTIKEL ILMIAH POPULER

“Pandemi dan Stres pada Tenaga Kesehatan, Wajarkah ?”

Tips Mengelola Stres bagi Tenaga Kesehatan

Penanganan / pengelolaan yang tepat sangat diperlukan untuk mengatasi stres psikologis yang dirasakan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi stres psikologis yang dirasakan oleh para tenaga kesehatan adalah dengan melakukan teknik stabilisasi/regulasi emosi. Regulasi emosi didefinisikan sebagai usaha, perencanaan dan kontrol yang diperlukan untuk mengekspresikan emosi yang diinginkan selama menjalin transaksi interpersonal (Morris & Feldman, 1996 dalam Scheibe & Zacher, 2013). Fokus regulasi emosi pada perubahan emosional internal untuk memenuhi kebutuhan eksternal (Gross dan Thompson 2007, dalam Wang & Saudino, 2011).

Teknik stabilisasi/regulasi emosi ini mencakup strategi untuk meningkatkan, mempertahankan dan mengurangi komponen emosional, kognitif dan perilaku dari suatu respon emosional. Di lain hal, pemberian teknik stabilisasi/regulasi emosi berarti mengurangi dan mengendalikan emosi negatif dengan cara menggunakan emosi positif.

Penulis memberikan edukasi sederhana mengenai penerapan salah satu keterampilan stabilisasi/regulasi emosi yang dapat diterapkan secara mandiri yaitu “menghitung nafas” (EMDR, 2020). Langkah-langkah yang dapat dilakukan yaitu :

1. Gunakan timer atau jam tangan anda untuk menghitung berapa kali anda menarik dan menghembuskan nafas dalam 1 menit. Bernafaslah seperti biasa, setelah 1 menit lakukan pengecekan : (a) bernafas normal berkisar antara 15-25 kali /menit, sedangkan (b) bernafas berkisar di atas 25 kali/menit berarti tubuh anda berada dalam kondisi stres.

2. Ulangi menghitung nafas dan sekarang usahakan untuk bernafas secara perlahan dan sedalam mungkin. Usahakan agar anda mampu untuk menapai 4-8 nafas/menit. Ikuti instruksi dibawah ini :

“Tarik nafas dalam (hirup udara sebanyak mungkin)… tahan sebentar… hembuskan perlahan… (sambil mengucapkan “sa…tu…”)…. tahan sebentar…,

Tarik nafas dalam (hirup udara sebanyak mungkin)… tahan sebentar… hembuskan perlahan… (sambil mengucapkan “du…a…”)… tahan sebentar… Tarik nafas dalam lagi…. tahan…. hembuskan…. (sambil mengucapkan “ti…ga…”)… dan seterusnya.”

3. Ketika melakukan teknik ini, anda tidak perlu memaksakan diri untuk melakukannya. Silahkan ulangi beberapa kali sesuai dengan kemampuan. Ulangi sebanyak 3 kali semenit. Bisa dirasakan sekarang, bahwa detak jantung melambat dan nafas terasa lebih lega. Hal ini dikarenakan anda menghirup dan menyimpan oksigen lebih banyak dari biasanya.

ARTIKEL ILMIAH POPULER

“Pandemi dan Stres pada Tenaga Kesehatan, Wajarkah ?”

4. Usahakan pertahankan kondisi ini (keadaan tubuh tenang dan rileks). Setiap kali anda merasa tegang. Ulangi teknik bernafas ini (Lakukan point 2). Dengan menghitung nafas diharapkan anda akan lebih tenang dan tubuh anda akan lebih siap untuk melawan virus. Percayalah pada kekuatan alamiah untuk pemulihan diri.

Penanganan Psikologis Dasar untuk Mengelola Stres

Ketika anda berprofesi sebagai tenaga kesehatan mengalami stres, itu adalah hal yang wajar, sebab setiap orang akan selalu melewati setiap permasalahan dalam hidupnya untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik lagi dibandingkan sebelumnya. Hanya saja, ketika stres itu tidak dapat diselesaikan dengan baik maka akan berdampak tidak baik bagi keberlangsungan hidup kita.

Bila persoalan yang anda hadapi terlalu berat dan anda merasa untuk tidak mampu menghadapinya, maka segera akses bantuan dari tenaga profesional, baik itu psikolog, dokter, maupun tenaga ahli lainnya. Jangan biarkan stres yang anda rasakan berlarut-larut berada dalam diri anda, sebab ketika hal tersebut terlalu lama untuk ditimbun maka akan menyebabkan suatu permasalahan yang lebih serius kedepannya. Berikut ini ada saran-saran sederhana untuk dapat dilakukan oleh para pembaca agar menjalani hidup menjadi lebih bahagia dan sehat, diantaranya yaitu :

1. Memberi kesempatan pada diri sendiri untuk mengungkapan dan mencerna perasaan anda ketika menghadapi pasien, tanpa berbagi informasi yang terlalu detail tentang kondisi pasien kepada rekan kerja, atasan atau keluarga dirumah.

2. Memberi suatu reward / penghargaan / quality time kepada diri sendiri setelah melakukan suatu pekerjaan yang dirasa berat (salah satunya setelah bekerja diruang isolasi). Hal yang dilakukan bisa merupakan kegiatan yang disukai, seperti makan, jalan-jalan, dsb.

3. Menjaga kesehatan fisik tubuh anda dengan melakukan olahraga secara rutin agar tubuh menjadi lebih rileks dan bugar untuk menjalani hari-hari anda.

4. Melakukan pernafasan secara rutin dan teratur sesuai dengan langkah-langkah yang telah penulis jelaskan diatas (menghitung nafas).

Artikel ini merupakan ringkasan tulisan yang diambil dari buku “Pandemi dan Kesehatan Jiwa (Derap Psikolog Klinis untuk Indonesia)”


  ARTIKEL TERBARU

Penyakit Pneumonia yang ditimbulkan oleh virus Corona baru-baru ini sudah menimbulkan kematian ra ... Selengkapnya
Dunia terhenyak tahun 2020 dengan munculnya virus corona, segala sektor terimbas. Awal muncul di ... Selengkapnya
                          ... Selengkapnya
“Adikmu suka ngileran, diajak ngomong gak nyambung pula, padahal sudah smp, malu-maluin aja ... Selengkapnya