Baru-baru ini kita menemui sebuah berita di mana terdapat sebanyak 76 siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Kecamatan Ngariboyo, Kabupaten Magetan, menyayat lengannya sendiri menggunakan benda tajam. Hal tersebut berdasarkan temuan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Magetan yang melakukan kl; secara rutin baru-baru ini.
Melihat fenomena seperti ini, tentu membuat risau para orangtua terutama yang mempunyai anak remaja. Dan mulai timbul beberepa pertanyaan, mengapa mereka bisa berbuat seperti itu? Apa yang melatar belakangi mereka? Dan beberapa pertanyaaan lainnya.
Anak remaja sekarang dengan kelahiran tahun 1990-an sekarang dikenal istilah sebagai “generasi stoberi”, artinya mereka tak dapat menghadapi tekanan sosial atau kerja keras seperti generasi orang tua mereka; istilah tersebut merujuk kepada orang yang insubordinat, manja, penyendiri, arogan, dan malas kerja (Wikipedia.org diakses tanggal 4 November 2023).
Generasi Stroberi ini juga lebih mudah menggambarkan suasana hati mereka melalui media sosial, ada yang digunakan sebagai wadah flexing (pamer) dan mengeluhkan situasi yang kurang menyenangkan misalnya terkena macet, kuku patah, tidak dapat tempat parkir, dan sebagainya.
Menurut Prof. Renald Kasali ( www.djkn.kemenkeu.go.id diakses tgl 4 November 2023) fenomena ini terjadi dikarenakan :
Banyak informasi beredar di sosial media dan sebagainya sehingga mereka menyerapnya seperti spons yang menyerap air. Kita terpapar informasi-informasi yang kadang belum tentu tepat. Kemudian mencoba mencocok-cocokkan apa yang terjadi kepada dirinya dengan apa yang dikatakan dalam sosial media. Karena cocok kemudian mereka merasa dan meyakini bahwa mereka tertekan, stress dan bahkan depresi sehingga mulai memperparah kondisi yang sebenarnya.
Tidak dapat dipungkiri kehidupan sekarang pada umumnya lebih sejahtera daripada beberapa dekade yang lalu. Pada keluarga yang sejahtera orangtua mempunyai kecenderungan memberikan apa yang diminta oleh anak-anaknya. Kemudian orangtua biasanya memberikan kompensasi waktu yang lebih sedikit dengan uang atau benda-benda material lainnya. Padahal waktu seharusnya tidak dapat dikompensasi, dan orangtua harus tetap menyempatkan perhatian untuk anak-anaknya. Yang berikutnya adalah orangtua sudah tidak terbiasa menghukum anak atau kalau dalam istilah lain memberikan konsekuensi atas kesalahan-kesalahan anaknya.
Kekeliruan orangtua berikutnya adalah setting unrealistic expectation. Orangtua sering menyebut anaknya princess, prince, anak paling hebat dan lain sebagainya. Padahal dalam kenyataannya nanti dalam kehidupan, anak-anak ini akan menghadapi situasi lebih besar dan lebih sulit daripada lingkungan amannya di rumah dimana akan ada orang-orang yang lebih hebat dan pandai dari diri mereka. Akibatnya anak-anak ini kemudian akan lebih mudah kecewa dan lebih mudah tersinggung karena perbedaan kondisi di dalam dan di luar rumah.
Pada generasi jaman sebelumnya, relatif tidak ada orangtua yang mengatakan anaknya itu moody (relatif mudah berubah-ubah mood). Akhir-akhir ini jumlah orangtua yang mengatakan anaknya moody makin meningkat. Ada akibat penyebutan moody dari orangtua untuk anaknya yakni setelah anak-anak itu besar nanti mereka akan mudah menyebut dirinya sendiri gampang berubah-ubah mood (percaya pada label tersebut)
Padahal kemenangan dari seseorang itu adalah jika ia bisa memanage semua kesulitan-kesulitan atau obstacle tersebut. Ketika mendapatkan kesulitan mereka biasanya mendapatkan bantuan dari orangtua atau mungkin malah mengabaikannya, misalnya ketika seorang murid mendapatkan hukuman dari gurunya maka orangtua akan langsung menanyakan hukuman tersebut kepada guru esok harinya. Padahal pada usia sekolah orangtuanya, mereka tidak pernah menceritakan hukuman dari guru kelasnya kepada orangtua sendiri dikarenakan mereka tidak akan dapat pembelaan malah mendapat respon marah.
Beberapa situasi dan fenomena yang dialami anak generasi Stroberi ini yang akhirmya mempermudah mereka mengalami stress bahkan depresi yang akhirnya beberapa melakukan self harm (melukai diri sendiri).
Definisi Self-harm adalah suatu bentuk perilaku menyakiti diri sendiri yang dilakukan individu karena permasalahan yang kompleks dan rumit, ingatan yang menyakitkan, atau keadaan yang diluar kendali, sebagai cara untuk mengatasi tekanan secara emosional atau rasa sakit secara psikis yang tidak tertahankkan, dialami oleh individu dengan melukai diri sendiri tanpa berniat untuk melakukan bunuh diri, namun dapat mengancam jiwa individu (Muthia & Hidayati, 2015).
Beberapa bentuk perilaku self-harm yang sering dilakkan (Whitlock, dalam core.ac.uk/download/pdf/196574474.pdf) seperti :
Berdasarkan dari beberapa penelitian yang meneliti mengenai self harm, faktor yang menyebabkan individu melakukannya adalah faktor mekanisme pertahanan diri dalam strategi coping yang negatif. Masa kecil individu yang mengalami trauma psikologis, kurangnya komunikasi dalam keluarga individu, tidak adanya keharmonisan dan kehangatan dalam keluarga, permasalahan yang terjadi di sekolah, permasalahan dalam hubungan percintaan, permasalahan dengan teman, kejadian buruk yang pernah dialami dan stres dalam menjalani kehidupan.
Selain dari beberapa faktor diatas faktor yang menyebabkan remaja melakukan self-harm juga bisa disebabkan (Whitlock core.ac.uk/download/pdf/196574474.pdf) :
Jika sudah ada indikasi Self Harm pada remaja, tentu orangtua harus meminta bantuan pada tenaga professional agar mendapatkan penanganan yang tepat. Sebelum memberikan penanganan yang tepat pun, Tenaga Profesional akan mencoba mengidentfikasi terlebih dahulu faktor yang melandasi mereka melakukan self harm apakah benar dikarenakan kondisi depresi atau hanya untuk mendapatkan perhatian melalui media sosial atau bahkan hanya agar dapat diterima dalam komunitas tertentu.
Agar Generasi Stroberi ini lebih tangguh menghadapi tantangan, Prof. Renald Kasali memberikan beberapa solusi, antara lain :